Mendengar dan membaca time
line yang berseliweran mulai dari cerita tentang Sonya Depari seorang siswi SMU Medan yang membentak polwan ketika melakukan
pelanggaran lalu lintas dan kisah beberapa siswa siswi yang melakukan pesta seks setelah UN, timbul
pertanyaan ku segitu menakutkan kah Ujian Nasional itu, sehingga siswa siswi
kita merasa tertekan , dan perlu merayakan
dengan hal-hal yang tak
pantas. Setiap Ujian Nasional menjelang tak
hanya siswa-siswi yang ketakutan, orang tua ,bahkan guru pun ikut merasakan
was-was, AADU – Ada apa dengan UN ?.
Ujian Nasional dengan standar nilai yang tinggi dan segala peraturannya, sisi baiknya anak mungkin akan rajin belajar dan orang tua pun ikut peduli dan mendukung anak – anak untuk menghadapi ujian. Namun dibalik itu ada sisi negatif bahkan terbentuknya satu persekongkolan dan kebohongan baru yang tercipta dari segala tingkatan, sebagian orang tua ada yang mencari kunci jawaban, bahkan kepala sekolah dan guru berusaha meluluskan anak didik mereka hanya untuk memenuhi sebuah standarisasi pendidikan.
Ujian Nasional dengan standar nilai yang tinggi dan segala peraturannya, sisi baiknya anak mungkin akan rajin belajar dan orang tua pun ikut peduli dan mendukung anak – anak untuk menghadapi ujian. Namun dibalik itu ada sisi negatif bahkan terbentuknya satu persekongkolan dan kebohongan baru yang tercipta dari segala tingkatan, sebagian orang tua ada yang mencari kunci jawaban, bahkan kepala sekolah dan guru berusaha meluluskan anak didik mereka hanya untuk memenuhi sebuah standarisasi pendidikan.
Disini aku tidak akan membahas
tentang UN dan tetek bengeknya tapi
kisah sedih dibalik UN itu jelas tertangkap pada cerpen “Ujian untuk Puan”. Bagaimana seorang guru yang terpaksa dan dipaksa untuk tidak jujur,
dengan memberikan kunci jawaban UN ke anak-anak mereka dengan sedikit “sandiwara”.
Cerpen ini dikemas secara baik sehingga ketika aku membacanya serasa menjadi aku lah puan yang diuji itu, aku yang derai
airmata menuliskan jawaban untuk anak-anak yang terpakasa membelakangi
kejujuran. Aku yakin cerpen ini merupakan suara hati kejujuran dari penulisnya,
bahwa dari Sistem UN yang diberlakukan ada orang-orang yang terpakasa
mengorbankan idealismenya.
Cerpen ini merupakan karya
dari Uni Ira Guslina , yang memang sejak SD sudah menyenangi
pelajaran Bahasa Indonesia yang membuatnya berlabuh Surat Kabar Kampus Bahana
Mahasiswa Universitas Riau dua belas tahun lalu. Pantas saja tulisannya sangat
bagus dan mengena.
Uni Ira ini sudah banyak pengalaman Ketika kuliah ia
sangat aktif di luar kampus. Ikut
penelitian kebudayaan, dan pernah satu tim dengan peneliti Belanda dan pada 2003-2007 belajar banyak tentang
kehidupan karena beberapa kali harus menginap di kampung-kampung,
berkorespondensi dengan Suku Sakai, Suku Talang Mamak, yang merupakan penduduk
tempatan Melayu. Di tahun 2008 sembari melanjutkan kerja sosial dan budaya, ia terlibat
dalam kelompok kerjasama ekonomi tiga negara yang lebih dikenal dengan IMT-GT
(Indonesia Malaysia Thailand Growth Triangle) yang melibatkan KADIN,
Pemerintah, dan dunia usaha dari ketiga Negara. Pada 2010 panggilan kerja dari
sebuah perusahaan membuat menetap di Jakarta dan perjalanan ke beberapa kota
pun dimulai.
Sekarang Uni Ira Guslina aktif ngeblog dan menjadi Full time moms dari
kedua buah hatinya Bintang dan Azizah, yang kemudian nama kedua anaknya itu
disematkan pada nama situs pribadinya Dunia Biza, Dunia Bintang dan Aziza, kreatif
banget . Buat yang ingin tahu dan kenal dengan Uni Ira bisa kepo akunt
pribadinya :
Ga pernah ngalami juga.. tapi saya benar2 ga kebayang ya mba bagaimana susahnya situasi guru2 yg menghadapi situasi begitu. Semoga tak benar adanya dna hanya cerpen.. :-) terima kasih mba tulisannya..
BalasHapusaamiin...semoga guru2 tauladan kita..selalu mengedepankan kejujuran..tak hanya guru..tapi juga pihak2 yang terkait..
HapusMbak Ira orangnya sederhana tidak sombong. Saya baru main ke blognya beberapa waktu lalu.
BalasHapuskesederhanaan..identik dengan kebaikan..hi2
Hapustulisannya sangatlah kreatif, sedrhana tapi menyentuh hati. terima kasih tulisannya. semoga tambah sukses dan kreatif. ditunggu tulisan tulisannya lagi yes,,..
BalasHapusbenar kah..??? *elus jenggot
Hapuswah mbak saya rencana nulis soal ini juga lho hihi
BalasHapussalam kenal balik
biasanya saya followback yang sering interaksi di blog by komen misalnya :)
kalau untuk followers banyak soalnya umur blognya sudah lumayan tua. dan sejak awal dibuat saya memang sudah aktif update :)
wah..udah lama ngeblog ya.... , senior nih hi2
Hapusnikin cerpen paling aku hindari hehehe. Harus belajar lagi ya
BalasHapuskalau aku susah bikin klimaksnya...datar ajah..
Hapusooh baru tau Biza itu singkatan dari Bintang dan Aziza :)
BalasHapuspasti tadinya ngira bisa..he2
HapusInspiratif, saya karena baru menjadi orang tua merasa waswas jika UN bukan hanya jadi media evaluasi, namun malahbtragis sebagai wahana menumbuhkan sikap bohong dan tidak jujur
BalasHapusstandar yang harus dicapai..membuat sebagian orang mencapainya dengan cara yang tidak baik..
Hapussahurusnya pemerintah segera tanggap dan berbenah soal ini, jangan biarkan berlarut2 jika tidak ingin melahirkan generasi2 korup dan tidak jujur. maju terus indonesia
BalasHapusamiin..maju terus indonesia..
Hapussemoga semakin banyak yang mengedepankan kejujuran.. terutama para pihak yang terkait..
Hmm keren bun.
BalasHapusterimakasih..
Hapuspas paca cerpen Mbak Ira (nama kami sama, hehe) saya jugamerasa miris banget Mbak, betapa banyak guru yang mengorbankan idealisme-nya hanya untuk menyelamatkan "nama baik sekolah" :(
BalasHapusitu..kayanya udah jadi rahasia umum.. dulu guru ikutan ngawas..ga boleh anak-anak nyontek.., sekarang karena ada tekanan pada instansi sekolah... malah sekolah ikut memberikan kisi2 jawaban..
HapusCerpennya menyentuh ya emang. Tapi untungnya UN sekarang nggak setegang UN tahun-tahun 2005-2014an yang terpaku sama batas kelulusan.
BalasHapusJadi kepikir gimana jaman nanti anak saya UN ya, mengingat sistem selalu berganti. Semoga anak kita selalu dilancarkan pendidikannya, seribet apapun sistemnya nanti
BalasHapus